Headlines News :



Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Setan Semakin Kalap

Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri


Apa namanya kalau bukan setan semakin kalap. Sehari setelah Sidang Umum PBB yang meningkatkan status Palestina menjadi negara pengamat nonanggota, Zionis Israel langsung mengumumkan akan kembali membangun 3.000 unit rumah di wilayah pendudukan di Madinatul Quds (Yerusalem Timur) dan Tepi Barat.

Dua wilayah terakhir itu adalah tanah Palestina yang di-ghasab alias diserobot Israel. Mereka juga akan mempercepat proses izin seribu perumahan lainnya yang telah direncanakan. Pembangunan Permukiman Yahudi itu, dikenal dengan sebutan E1, akan membelah kawasan Tepi Barat menjadi dua.

Dengan begitu, permukiman kaum Zionis itu akan mencegah pembentukan wilayah Palestina bersatu. Hingga sekarang, lebih dari 500 ribu warga Yahudi tinggal di lebih dari 100 permukiman yang dibangun sejak Zionis Israel menduduki (baca: menjajah) Tepi Barat dan Madinatul Quds. Pembangunan permukiman ini dianggap ilegal di bawah undang-undang internasional.

Menurut pejabat tinggi Israel, pengumuman untuk membangun permukiman baru Yahudi itu merupakan reaksi awal dari keputusan Sidang Umum PBB yang menyetujui Palestina sebagai negara pengamat nonanggota. “Itu hanyalah reaksi awal. Reaksi berikutnya akan lebih dahsyat,” ujar pejabat yang tak mau disebutkan namanya, seperti dilaporkan koran berbahasa Arab Al Sharq Al Awsat. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan reaksi yang lebih dahsyat tersebut. Pekan lalu (29/11), Majelis Umum PBB menyelenggarakan pemungutan suara mengenai Palestina. Yakni, apakah negara anggota PBB menyetujui Palestina diterima sebagai negara pengamat nonanggota di lembaga internasional itu.

Hasilnya, sebanyak 138 negara mengatakan oke, sembilan negara menolak, dan 41 negara abstain. Dengan keputusan Sidang Majelis Umum PBB itu, Palestina kini lahir sebagai negara merdeka dan berdaulat yang diakui dunia internasional. Tidak seperti selama ini yang hanya menyandang status sebagai otoritas, yaitu Otoritas Palestina.

Karena itu, pendudukan Israel terhadap wilayah Palestina merupakan sebuah penjajahan. Bukan lagi otoritas, seperti yang dinyatakan Zeonis Israel selama ini. “Ini adalah sebuah tindakan agresi Israel atas sebuah negara. Dunia internasional harus ikut memikul tanggung jawabnya,” ujar seorang pejabat senior Palestina Hanan Ashrawi mengenai keputusan Zionis Israel yang akan membangun permukiman Yahudi di wilayah Palestina.

Keuntungan lain dengan status barunya itu, Palestina kini bisa mengambil bagian dalam sidang-sidang dan perdebatan di PBB. Palestina juga dapat menjadi anggota di badan-badan PBB, termasuk Mahkamah Kriminal (Pidana) Internasional di Denhaag, Belanda. Dengan begitu, Palestina bisa menyeret para pejabat Zionis Israel yang selama ini terlibat dalam pelanggaran HAM dan kejahatan perang ke Pengadilan Kejahatan Internasional di Den Haag.

Karena itulah, pantas bila Zionis Israel marah besar. Bahkan, bisa dikatakan kalap. Saking marahnya, hingga Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut Presiden Palestina Mahmud Abbas yang menyampaikan pidato pada Sidang Umum PBB akhir bulan lalu sebagai setan terkutuk. Pertanyaannya, siapakah sebenarnya yang lebih pantas disebut setan terkutuk, apakah Presiden Palestina Mahmud Abbas atau sebaliknya, PM Israel Benjamin Netanyahu dan pejabat tinggi pemerintahannya?

Mari saya jelaskan sebuah fakta sejarah. Negara Israel didirikan atas konsep 'tanah yang dijanjikan', sebuah konsep Yudaisme zaman kuno. Intinya, Tuhan bangsa Isarael menjanjikan akan memberikan kepada mereka sebuah negara. Entah di mana negara itu.

Mimpi bangsa Israel atas 'tanah yang dijanjikan' itu kemudian bertemu dengan kepentingan negara-negara penjajah saat itu. Yakni, mereka harus mencari cara lain untuk tetap menjajah negara-negara Arab setelah ada pertanda negara-negara jajahan satu per satu akan memerdekakan diri. Cara itu adalah “menanam” sebuah negara yang akan selalu membuat onar di kawasan sekitarnya.

Setelah Perang Dunia I usai, Liga Bangsa Bangsa (baca: konspirasi negara-negara penjajah) secara sepihak menyetujui dijadikannya Mandat Britania untuk mewujudkan negara Israel. Negara itu ternyata di atas tanah Palestina. Sejak itu, terjadilah eksodus orang-orang Yahudi dari berbagai negara ke tanah Palestina.
Pada 1947, PBB mengiyakan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara, negara Yahudi dan negara Palestina. Pada 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaannya. Tindakan Zionis Israel dan konspirasi negara-negara penjajah itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh bangsa-bangsa Arab, utamanya bangsa Palestina.

Sejak itu, terjadilah konflik dan peperangan berkepanjangan antara Israel dan bangsa-bangsa Arab. Tapi, karena Israel didukung penuh negara-negara Barat, militer maupun ekonomi, perjuangan bangsa-bangsa Arab selalu kandas. Apalagi, antarbangsa Arab sering terjadi konflik. Akibatnya, dalam Perang Enam Hari pada 1967 Zionis Israel berhasil mencaplok wilayah Tepi Barat, Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai. Dataran Tinggi Golan adalah wilayah Suriah. Sedangkan, Sinai sudah dikembalikan ke Mesir setelah penandatanganan penjanjian damai pada 1979.

Di daerah-daerah pendudukan milik Palestina itulah kini Zionis Israel berusaha untuk memperkuat cengkeramannya dengan gencar membangun permukiman untuk warga Yahudi. Pembangunan yang dianggap masyarakat internasional liar dan melanggar hukum. Jadi, pertanyaannya, relakah Anda sebagai pemiliki sah diusir dari rumah sendiri? Lalu, siapa sebenarnya yang setan terkutuk?

Tuntutan Buruh Migran, Bagian Perjuangan Buruh Indonesia


Oleh Nisma Abdullah*

Latar Belakang
Sungguh sudah suatu kegagalan besar bagi sistem ekonomi kapitalis hari ini dimana hampir 7 juta rakyat pekerja Indonesia harus meninggalkan tanah airnya untuk mencari sesuap nasi. Di bumi yang begitu kaya ini ternyata kelas penguasa tidak mampu menyediakan pekerjaan layak untuk 7 (tujuh) juta penduduknya.

Mereka terpaksa terbang jauh meninggalkan keluarga dan kampung halamannya untuk bekerja di negeri asing. Keputusasaan mendorong mereka untuk mengambil pekerjaan yang – dalam standar negeri tujuan – gajinya sangatlah rendah dan kondisi kerjanya menggenaskan.
Kita belum lagi berbicara mengenai ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi hak-hak dasar buruh migran. Tidak perlu lagi kita paparkan puluhan ribu kasus penindasan buruh migran, dari pemerasan, kekerasan, penipuan, pemalsuan dokumen, PHK sepihak, tidak digaji, penganiayaan, pembunuhan, pelecehan seksual, hingga perkosaan bahkan perbudakan bukan lagi cerita asing. Cerita mereka sudah terekam, tercatat, dan terlaporkan. Hanya segelintir saja yang mendapatkan keadilan. Sisanya tertimbun di atas ratusan kasus-kasus lain yang tiap hari datang tak henti-hentinya.
Tidak tersedianya lapangan pekerjaan menjadi salah satu dorongan utama akan terus meningkatnya jumlah buruh migran. Indonesia bahkan menargetkan penempatan TKI sampai 10 juta orang, atau 5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Bagi para kapitalis PJTKI, buruh migran adalah lahan basah untuk diperas. Bagi para birokrat negara, buruh migran adalah sumber devisa dan jalan keluar cepat dari ketidakmampuan mereka untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Mereka semua berkepentingan untuk mengirim sebanyak mungkin buruh migran tanpa secuilpun niat untuk melindungi mereka.
Pada dasarnya sistem kapitalisme itu sendiri yang menciptakan kebutuhan akan buruh migran, bukan karena kepentingan segelintir kapitalis PJTKI dan birokrat-birokrat negara. Kapitalisme, dalam pengejaran profit mereka, membutuhkan buruh dengan gaji rendah. Untuk bisa bersaing dan meraup laba besar, para kapitalis saling berkompetisi untuk menekan biaya produksi mereka. Apa biaya produksi yang paling dasar? Biaya tenaga kerja, karena buruhlah yang melakukan kerja dan produksi. Oleh karenanya, biaya tenaga kerja – gaji serta kondisi kerja – adalah hal utama yang harus terus ditekan oleh kapitalis.
Buruh migran dari negeri-negeri yang lebih miskin menjadi sumber tenaga kerja murah bagi para kapitalis. Di Malaysia, satu dari tiga pekerja di Malaysia adalah buruh migran dimana selain mereka murah, hak-hak mereka juga dapat diabaikan karena mereka bukan penduduk lokal. Ancaman deportasi membuat buruh migran lebih penurut dan tidak bawel. Pada saat yang sama, kehadiran para buruh migran sebagai tenaga kerja murah juga menekan gaji para buruh lokal. Para pengusaha akan mengatakan kepada buruh lokal: “Bila kalian tidak ingin melakukan kerja ini, ada buruh-buruh migran yang siap melakukan kerja ini dengan gaji yang lebih rendah.”
Sungguh keliru kalau kita pikir bahwa mayoritas buruh migran bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau care-taker. Sebuah upaya pengelabuan fakta yang biasa kita dapati dari koran dan TV. Sesungguhnya mayoritas buruh migran bekerja di sektor manufaktur (garmen, elektronik, plastik), perkebunan, dan konstruksi. Di Malaysia, hanya sekitar 15% buruh migran bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Selebihnya di konstruksi (18%), manufaktur (35%), perkebunan (10%), pertanian (17%), dan jasa (10%).
Inilah logika kapitalisme yang menjadi akar dari penindasan buruh migran. Pemahaman ini sangatlah penting. Bila kita hanya memahami penindasan buruh migran sebagai akibat dari kenakalan PJTKI dan tidak-kompetennya negara dalam melindungi buruh migran, maka solusi yang kita capai juga terbatas pada regulasi PJTKI dan penguatan hukum-hukum perlindungan buruh migran. Reforma-reforma kecil macam ini memang harus diperjuangkan, tetapi mereka tidak bisa dijadikan solusi akhir bagi permasalahan buruh migran. Reforma-reforma kecil ini adalah solusi tambal sulam yang sebenarnya tidak menutupi akar masalah dari buruh migran.
Disini kita bisa segera melihat bahwa tuntutan buruh migran adalah bagian tak terpisahkan dari tuntutan buruh Indonesia. Walaupun buruh migran tidak bekerja di Indonesia, nasib mereka terikat oleh tuntutan buruh secara keseluruhan. Buruh migran tidak lebih adalah buruh Indonesia yang terlempar ke jurang pengangguran dan terpaksa merantau ke negeri asing. Dalam tingkatan reformasi, kemenangan-kemenangan buruh Indonesia dalam perjuangannya – gaji yang lebih layak, kondisi kerja lebih baik, jaminan social dan lain-lain mempunyai pengaruh pada situasi buruh migran.
Pertama, dengan semakin meningkatnya kesejahteraan buruh dalam negeri maka dorongan untuk menjadi buruh migran semakin kecil karena pekerjaan dengan gaji yang layak bisa didapatkan di Indonesia. Kedua, kondisi kerja yang lebih baik di Indonesia akan membuat posisi tawar buruh migran di negeri-negeri tujuan relatif lebih tinggi. Melihat saudara-saudara buruh di negeri mereka sendiri sudah memenangkan kondisi kerja yang manusiawi, buruh migran menjadi lebih percaya diri untuk menuntut hak-hak mereka.
Lebih dari itu, kepentingan buruh migran juga terikat erat dengan kepentingan kaum buruh lokal di negeri-negeri tujuan. Seperti yang telah kita paparkan, buruh migran diimpor untuk menekan gaji buruh lokal, dan seringkali dijadikan alat untuk memecah belah gerakan buruh. Di level pabrik, musuh langsung buruh migran dan buruh lokal adalah sama, yakni sang pemilik pabrik. Ini mensyaratkan bahwa tuntutan utama buruh migrant harus disalurkan lewat serikat buruh. Kebebasan berserikat bagi buruh migran menjadi tuntutan utama yang harus diperjuangkan oleh kaum buruh migran dan juga kaum buruh lokal.
Buruh-buruh Asia, secara lintas-negara maupun secara langsung lewat penempatan buruh migran, dibenturkan satu sama lain oleh system ekonomi kapitalis yang berlomba-lomba menurunkan gaji buruh demi profit. Bila gaji buruh Indonesia terlalu tinggi, pemodal – asing dan bahkan nasional – akan mengancam memindahkan pabrik mereka ke negeri yang gaji buruhnya lebih rendah. Bila gaji buruh lokal terlalu tinggi, kapitalis lalu mengimpor langsung buruh migran yang gajinya lebih rendah. Kenyataan ini mengharuskan perspektif internasional dalam sudut pandang buruh dalam memajukan tuntutannya.
Saat ini rancangan UUPPTKILN isinya tidak berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya yang berorientasi pengiriman semata. Seharusnya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Migran dan anggota keluarganya mengacu pada Konvensi PBB 1990 yang sudah diratifikasi pemerintah RI. Proses perekrutan, pemberangkatan, penempatan dan pemulangan belum dirombak total, MoU dengan negara penempatanpun belum melindungi buruh migran Indonesia. Penyelesaian permasalahan seharusnya diatur sedetail mungkin didalam MOU. Agar Buruh Migran Indonesia mendapatkan perlindungan dan pelayanan yang mudah dan gratis yang dapat diakses oleh BMI disemua negara penempatan ataupun bukan negara penempatan diluar negeri baik yang berdokumen ataupun yang tidak berdokumen tanpa diskriminasi serta memberikan kebebasan berkumpul dan berserikat bagi BMI. 

Penyelesaian Perselisihan Buruh Migran
Buruh migrant memiliki posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan proletariat dalam negeri. Mengapa? Karena kaki buruh migran berpijak pada tiga arena yang brutal; secara langsung berada di tiga titik eksploitasi yang nyaris tanpa kontrol sosial: yakni secara langsung berada di dalam pasar kerja internasional, di dalam organisasi industri di negara lain, dan berada di bawah hukum negara lain.
Di dalam pasar kerja internasional, buruh migran berposisi seperti budak yang diperjual-belikan tanpa perlindungan yang berarti; kedua, di dalam organisasi industri di negara lain, posisi buruh migran berada di bawah buruh lokal dengan hak-hak dan fasilitas yang jauh lebih rendah dibanding buruh lokal; ketiga, di dalam hukum negara lain, buruh migran tidak memiliki hak-hak politik yang signifikan.
Kondisi pijak yang tergambar di atas telah memberikan mereka karakter yang pasif dan format organisasi yang temporer. Sifat pasif ini memang disituasikan agar buruh migran dapat dieksploitasi lebih mudah tanpa perlawanan berarti. Mekanisme penempatan diatur agar pengusaha/majikan bisa dengan mudah mempermainkan buruh migran: mendapatkannya dengan harga murah saat dibutuhkan dan segera membuangnya saat menjadi beban. Ketika suatu industri sedang menghadapi suatu kemunduran, misalnya, buruh migran akan mudah untuk diusir. Karena jika pengusiran ini diberlakukan untuk buruh domestik, maka dampak sosial-politiknya akan sangat berat dan bisa berujung pada ledakan-ledakan sosial.
Lalu bagaimana dengan Konvensi-konvensi PBB? Konvensi PBB yang mengatur tentang perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya ternyata tidak akan bisa berbuat banyak. Konvensi PBB hanya berarti sebagai sebuah seruan moral belaka yang tidak memiliki kekuatan politik yang menekan. Negara-negara tujuan buruh migran Indonesia, dengan berbagai dalih, tidak segera meratifikasi seruan lembaga buruh internasional tersebut. Sikap tidak kooperatif dari negara-negara tujuan penempatan BMI -- dan keompongan PBB/ILO itu sendiri dalam mengimplementasikan konvensi mereka -- sudah lumrah dan tidak mengagetkan karena perdagangan tenaga kerja dalam arena internasional sudah masuk dalam skema kerja kapitalisme.
Fakta di atas dengan tidak adanya akses atas civil right, politik dan hukum di negara tujuan migrasi melemahkan sikap kritis buruh migran. Wataknya kemudian menjadi pragmatis dan temporer. Pragmatis, selain karena tidak ada ruang-ruang politik yang terbuka lebar baginya untuk terlibat juga karena perspektif mereka tentang masa kerja: bahwa masa kerja di negara tujuan migrasi tesebut tidak akan lama.
Bekerja di sektor manapun buruh migran akan dibatasi atau diperkecil saluran-saluran politiknya. Buruh migran merupakan komoditas penting bagi negera-negara kaya di Asia dan Eropah. Mereka akan berfungsi sebagai bumper di dalam industri, dipergunakan untuk menekan biaya produksi karena bisa digaji rendah; untuk mengurangi resiko kerugian; untuk memecah kekuatan kelas buruh dengan membenturkan buruh migran dengan buruh domestik dan memunculkan sentimen rasis.
Penindasan kaum buruh terletak di dalam kenyataan bahwa nilai lebih produksi yang dikerjakannya diambil oleh sang majikan pemilik alat produksi. Inilah “politik upah murah” yang sering kita dengar. Semakin rendah upah, semakin besar nilai lebih yang direbut oleh pengusaha/majikan dari sang buruh; dan juga sebaliknya. Secara fundamental, penindasan buruh migran berakar dari fakta ini.
Mungkin bagi buruh migran yang bekerja sebagai buruh/pekerja di sector domestik, perspektif perebutan alat-alat produksi kaum kapitalis tampak absurd. Sang majikan tidak punya alat-alat produksi, karena pekerja domestik rumah tangga hanya bekerja sebagai pelayan dan bukan bekerja di pabrik-pabrik. Situasi menggenaskan yang dihadapi oleh buruh migran – gaji rendah, tidak ada perlindungan, tidak ada pengakuan hukum atas statusnya, tidak ada hak berserikat – justru membuat tuntutan sehari-hari ini memiliki potensi meningkatkan posisi tawar buruh dalam perjuangan tuntutannya.
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja.
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini di sebabkan karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk meningkatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang ini akan dapat menyelesaiakn kasus-kasus pemutusan hubunga kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan perburuhan/ketenagakerjaaan selama ini belum mengakomodir penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah pada buruh migran. Hal ini harus dijadikan salah satu bagian dari draft Undang-Undang Perlindungan BMI yang sedang digodok di parlemen sebagai dasar hukum untuk penyelesaian perselisihan/sengketa buruh migrant. Hal ini merupakan catatan penting karena hak-hak pekerja/buruh migrant perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan perburuhan.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian tripartite ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak. Namun demikian Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada pekerja/buruh, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan perburuhan tersebut.

Negara menyediakan mekanisme penuntutan bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Migran untuk mengajukan tuntutan baik lewat mekanisme di pengadilan maupun diluar pengadilan.

Perlu menjabarkan apa yang dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak Buruh Migran seperti: menarik biaya lebih dari 1 bulan gaji (overcharging), mengatur BURUH MIGRAN diupah dibawah standar dan menerima kurang dari apa yang tercantum di kontrak, memalsukan identitas, menahan dokumen diluar negeri (paspor/dokumen pribadi dan perjanjian kerja) dan surat-surat penting di Indonesia dan sebagainya.

Lawan Sekarang atau Tertindas Selamanya!
Selesai

* Ketua Umum SBMI
 


SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Pengunjung

Copyright © 2011. Podium Interaktif - All Rights Reserved
Pasang IKLAN, email Ke: podiuminteraktifnews@gmail.com